Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita
menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat
makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang
diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun
temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Oleh
karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi. Sebagai mana Hadits yang
diriwayatkan oleh tirmidzi dan Abu Darda:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ
يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama
adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham.
Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan
tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan
Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya
(5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di
dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan
Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah
no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)
Dan dikuatkan juga
dengan ayat berikut: dan Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah
orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ
“Kemudian kitab itu
Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.”
(Fathir: 32)
Ibnu Katsir
rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kemudian Kami
menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang
agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits
yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).”
(Fathul Bari, 1/83)
Al-Imam Asy-Syaukani
rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada
orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab
(Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada
para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu…
dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan
orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan
mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka
sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia,
mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan
sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari
ulama-ulama yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits
disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan
para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan
bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan
sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima
wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau
menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya
karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga
otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia
sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan
antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada
prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah).
Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun
penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan
secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud
dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri
qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu
sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan
sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang
semata.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi
adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam
bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi
dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad
itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan
Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il
“asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan
perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia
diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti
mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata
dengan perkataan tersebut)“.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah
satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah
Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah
warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian
dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa
saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya
sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47
no:32)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada
ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau
membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan
(riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan
“Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah
tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa
sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru
dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir
Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Tidak terlarang kita mendalami ilmu agama
dengan mutholaah, menelaah kitab baik yang berbahasa Arab, terjemahan atau melalui
media internet.
Namun sebaiknya kita mempunyai seorang guru
yang sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam tempat kita bertalaqqi (mengaji) dan tempat kita bertanya terhadap apa
yang kita baca
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus
sanad ilmu atau sanad gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut
tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu serta berakhlak
baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani
menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu
menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang
yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu
juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan
begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu
benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Jadi tidak ada gunanya daftar atau tabel
panjang sanad ilmu (sanad guru) jika pada akhirnya mendalami ilmu agama
bersandarkan pada muthola’ah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan
akal pikiran sendiri bermazhab dzahiriyah yakni berpendapat, berfatwa,
beraqidah (beri’tiqod) berpegang pada nash secara dzahir.
Salam
Semangat (Rizqy)
0 komentar:
Posting Komentar