SHALAT LAIHR DAN BATIN
Pengertian
Shalat Lahir dan Batin
Shalat merupakan tiang agama, demikian Islam menempatkannya
sebagai keyakinan. Sebagai rukun islam yang kedua, ia wajib hukumnya untuk
dilaksanakan, tidak boleh tidak, dengan segala ketentuan yang mengaturnya, juga
sebagai instrumen komunikasi dan pendekatan diri kita dengan Sang Khaliq, demikian ditegaskan dalam doktrin
Islam.
Shalat ternyata memestikan hal yg
bersifat lahiriah dan batiniah. Dalam
artikelnya M. Quraish Shihab mengunggkapkan bahwasanya secara lahiriah orang yang shalat dituntut untuk memenuhi segala
syarat dan rukunnya, sedangkan secara bathiniah meniscayakan adanya kekhusyu'an, yaitu kehadiran
Allah yang maha besar dalam setiap gerakan Shalat dimulai dari takbir hingga salam.
Jadi
bahwasanya yang dikatakan shalat lahir batin adalah yang mana pada shalat
tersebut didapatkan kekhusyuan.
Dalam wacana keislaman, Shalat terlihat masih menjadi pertentangan
antara para ahli fiqih dan tasawuf. Ahli fiqih tidak menetapkan khusyu'
sebagai salah satu syarat sah shalat, sedang ahli tasawuf menuntut hadirnya kekhusyu'an
dalam ibadah ini.
Seandainya shalat hanya sekadar "ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam" – sebagaimana
didefinisikan oleh ulama fiqih – niscaya Allah tidak menyatakan bahwa Sesungguhnya Dia berat, kecuali
oleh mereka yang khusyuk (QS. Al-Baqarah : 45).
Kalau kita ingin mengalami shalat yang benar-benar
bisa mencegah perbuatan keji dan munkar atau dalam bahasa haditsnya, yang dapat
menjadi "sarana mi'raj" kita selaku orang beriman, maka mau
tidak mau kita harus mengikuti jejak sufi dengan tetap bertolak dari pijakan
para fuqaha. Sebenarnya persoalan khusyu' dalam perspektif ganda ini
(fiqih dan tasawuf) bisa juga kita jadikan contoh kasus bagaimana keduanya,
jika tidak dipahami secara utuh, akan tampak bertentangan atau setidaknya
berpisahan. Yang satu hanyut dalam
urusan-urusan lahiriah, sementara yang lain hanya mengurus hal-hal
bathiniah. Tetapi, jika keduanya dipahami
dalam sebuah kerangka yang utuh, maka kita pada akhirnya akan mengakui bahwa
keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Keduanya saling terkait, bukankah bertasawuf
tanpa menghiraukan ketentuan syari'at (fiqih) tidak dibenarkan, dan
sebaliknya mengamalkan syari'at tanpa hakikat juga menggersangkan
ajaran Ilahi – untuk tidak mengatakan mereduksinya. Karena itu, tasawuf merupakan kelanjutan atau konsekuensi logis
dari yang pertama (fiqih).
Di sinilah terjadi pertemuan. Pada akhirnya memang para fuqaha
yang mendalam pengetahuannya dan para sufi yang meneladani Nabi Muhammad SAW. berkesimpulan bahwa
mengamalkan tasawuf tanpa bimbingan syari'at tidaklah dapat dibenarkan.
Sebaliknya, mengamalkan syari'at tanpa hakikat yang diajarkan para sufi,
hanyalah dilakukan oleh yang tidak memahami substansi agama. Dalam konteks
shalat, maka yang diharapkan adalah "Shalat Lahir Batin", yaitu
shalat yang dilaksanakan secara sufistik dengan berlandaskan pada
ketentuan-ketentuan syari'at. Dengan kata lain, shalat yang memenuhi berbagai
syarat, rukun, dan sunahnya, serta disempurnakan dengan sikap khusyu'.[1]
1.
Ciri-ciri Shalat Yang Khusuk
Para ulama menjelaskan bahwa yang namanya khusyuk itu ada
beberapa ciri :
1. Tidak menghadirkan segala sesuatu yang diluar aktifitas shalat.
1. Tidak menghadirkan segala sesuatu yang diluar aktifitas shalat.
2. Teratur dan tenang dalam gerakan anggota badan di dalam shalat.
3. Merasakan bahwa dirinya sedang berada dalam perhatian Allah SWT yang
maha mengetahui apa yang nampak dan yang tertutup. Tidakkah kamu
perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di
bumi, tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya. Dan tiada lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia
berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan
memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS.Al-Mujadalah:07).
4. Mentadabburkan atau menghayati bacaan Shalat yang diucapkannya dengan memahami maknanya secara umum. Bagaimana mungkin seorang bisa dikatakan khusyuk kalau dia tidak paham apa yang dibacanya.
4. Mentadabburkan atau menghayati bacaan Shalat yang diucapkannya dengan memahami maknanya secara umum. Bagaimana mungkin seorang bisa dikatakan khusyuk kalau dia tidak paham apa yang dibacanya.
5. Mengosongkan hati. Sebab bersihnya hati dan pikiran dari hal-hal
di luar shalat merupakan inti dari kekhusyuan itu sendiri. Meski pun
bukan berarti terlepas total dan tidak sadarkan diri dari apa yang terjadi di
sekelilingnya.[2]
dan
ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyuk kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan.
Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutup atau telinganya
disumbat sehingga tidak melihat atau mendengar apapun,agarkonsentrasi. Bahkan
mungkin bila dia melakukan hal-hal di
atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang
dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan
lalu lalang di jalan raya.
Maka seorang yang shalat dengan khusyuk bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, menutup telinga dan menutup diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyuk itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu.
Kita dapat menemukan sekian banyak ayat dan hadits yang mengacu maknanya
kepada kewajiban khusyu, serta mencela mereka yang lalai dalam shalatnya.
Bahkan, dalam Al-Qur'an tidak ditemukan satu perintah melaksanakan shalat atau
pujian kepada yang melaksanakannya, kecuali dibarengi dengan kata aqimu atau yang seakar dengannya. Ketika Al-Qur'an memuji sekelompok orang yang shalat dengan benar
dan baik, mereka ditunjuk dengan kalimat wa
al-muqimi ash-shalat (QS.
Al-Hajj 22: 35), sedangkan ketika berbicara
tentang sekelompok orang yang shalat tanpa menghayati substansinya, maka kata
yang digunakannya adalah al-mushallin (QS. Al-Ma'un 117: 04) tanpa menyebut kata yang seakar
dengan aqimu. Memang kata
tersebut mengandung makna melaksanakan sesuatu secara berkesinambungan dan
dengan sempurna sesuai dengan syarat, rukun, dan sunah-sunahnya. Kata al-mushallin pada ayat tersebut menunjuk
kepada mereka yang kalaupun telah melaksanakan shalat, tetapi shalatnya tidak
sempurna, karena mereka tidak khusyuk, dan tidak pula memperhatikan berbagai syarat dan rukunnya, atau
tidak menghayati arti serta tujuan hakiki dari ibadah tersebut. Mereka itulah
yang lengah akan hakikat dan tujuan shalatnya, sehingga dinilai oleh surah itu
sebagai orang yang mendustakan agama.
Hakikat pembenaran ad-din (agama) bukanlah ucapan dengan
lidah, melainkan perubahan dalam jiwa menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi
yang pada gilirannya mendorong ke kebaikan dan kebajikan. Allah tidak
menghendaki dari manusia sekedar kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi lebih
dari itu adalah pengamalan, yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu. Sebab,
kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti apa-apa dan tidak
dipandang-Nya, Nabi Muhammad
SAW bersabda "Allah tidak memandang (menilai) fisik dan bentuk rupamu,
tetapi Dia menilai hati dan amalanmu",
Ulama fiqih pada dasarnya hanya mengarahkan pandangan ke sisi
lahiriah manusia. Nahnu
nahkumu bi azh-zhahir wa Allah yatawalla as-sarair (Kami hanya menetapkan hukum
berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menangani yang batin). Khusyuk adalah kondisi kejiwaan yang tidak
dapat terjangkau hakikat sebenarnya oleh pandangan manusia, termasuk para ahli
fiqih itu.
Salam Semangat (Rizqy)
[1] http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=43&id=3.
.
0 komentar:
Posting Komentar