Selasa, 06 Mei 2014

Ritual Shalat Lahir dan Batin

SHALAT LAIHR DAN BATIN
Pengertian Shalat Lahir dan Batin
Shalat merupakan tiang agama, demikian Islam menempatkannya sebagai keyakinan. Sebagai rukun islam yang kedua, ia wajib hukumnya untuk dilaksanakan, tidak boleh tidak, dengan segala ketentuan yang mengaturnya, juga sebagai instrumen komunikasi dan pendekatan diri kita dengan Sang Khaliq, demikian ditegaskan dalam doktrin Islam.

Shalat ternyata memestikan hal yg bersifat lahiriah dan batiniah. Dalam artikelnya M. Quraish Shihab mengunggkapkan bahwasanya secara lahiriah orang yang shalat dituntut untuk memenuhi segala syarat dan rukunnya, sedangkan secara bathiniah meniscayakan adanya kekhusyu'an, yaitu kehadiran Allah yang maha besar dalam setiap gerakan Shalat dimulai dari takbir hingga salam.
Jadi bahwasanya yang dikatakan shalat lahir batin adalah yang mana pada shalat tersebut didapatkan kekhusyuan.
            Dalam wacana keislaman, Shalat terlihat masih menjadi pertentangan antara para ahli fiqih dan tasawuf. Ahli fiqih tidak menetapkan khusyu' sebagai salah satu syarat sah shalat, sedang ahli tasawuf menuntut hadirnya kekhusyu'an dalam ibadah ini.

Seandainya shalat hanya sekadar "ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam" – sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqih – niscaya Allah tidak menyatakan bahwa Sesungguhnya Dia berat, kecuali oleh mereka yang khusyuk (QS. Al-Baqarah : 45).

Kalau kita ingin mengalami shalat yang benar-benar bisa mencegah perbuatan keji dan munkar atau dalam bahasa haditsnya, yang dapat menjadi "sarana mi'raj" kita selaku orang beriman, maka mau tidak mau kita harus mengikuti jejak sufi dengan tetap bertolak dari pijakan para fuqaha. Sebenarnya persoalan khusyu' dalam perspektif ganda ini (fiqih dan tasawuf) bisa juga kita jadikan contoh kasus bagaimana keduanya, jika tidak dipahami secara utuh, akan tampak bertentangan atau setidaknya berpisahan. Yang satu hanyut dalam urusan-urusan lahiriah, sementara yang lain hanya mengurus hal-hal bathiniah. Tetapi, jika keduanya dipahami dalam sebuah kerangka yang utuh, maka kita pada akhirnya akan mengakui bahwa keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Keduanya saling terkait, bukankah bertasawuf tanpa menghiraukan ketentuan syari'at (fiqih) tidak dibenarkan, dan sebaliknya mengamalkan syari'at tanpa hakikat juga menggersangkan ajaran Ilahi – untuk tidak mengatakan mereduksinya. Karena itu, tasawuf merupakan kelanjutan atau konsekuensi logis dari yang pertama (fiqih).

Di sinilah terjadi pertemuan. Pada akhirnya memang para fuqaha yang mendalam pengetahuannya dan para sufi yang meneladani Nabi Muhammad SAW. berkesimpulan bahwa mengamalkan tasawuf tanpa bimbingan syari'at tidaklah dapat dibenarkan. Sebaliknya, mengamalkan syari'at tanpa hakikat yang diajarkan para sufi, hanyalah dilakukan oleh yang tidak memahami substansi agama. Dalam konteks shalat, maka yang diharapkan adalah "Shalat Lahir Batin", yaitu shalat yang dilaksanakan secara sufistik dengan berlandaskan pada ketentuan-ketentuan syari'at. Dengan kata lain, shalat yang memenuhi berbagai syarat, rukun, dan sunahnya, serta disempurnakan dengan sikap khusyu'.[1]

1.      Ciri-ciri Shalat Yang Khusuk
Para ulama menjelaskan bahwa yang namanya khusyuk itu ada beberapa ciri :
1. Tidak menghadirkan segala sesuatu yang diluar aktifitas shalat. 
2. Teratur dan tenang dalam gerakan anggota badan di dalam shalat.
3. Merasakan bahwa dirinya sedang berada dalam perhatian Allah SWT yang maha mengetahui apa yang nampak dan yang tertutup. Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS.Al-Mujadalah:07).   
4. Mentadabburkan atau menghayati bacaan Shalat yang diucapkannya dengan memahami maknanya secara umum.  Bagaimana mungkin seorang bisa dikatakan khusyuk kalau dia tidak paham apa yang dibacanya.
5. Mengosongkan hati. Sebab bersihnya hati dan pikiran dari hal-hal di luar shalat merupakan inti dari kekhusyuan itu sendiri. Meski pun bukan berarti terlepas total dan tidak sadarkan diri dari apa yang terjadi di sekelilingnya.[2] dan ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyuk  kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan. Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutup atau telinganya disumbat sehingga tidak melihat atau mendengar apapun,agarkonsentrasi. Bahkan mungkin  bila dia melakukan hal-hal di atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan lalu lalang di jalan raya. 

           Maka seorang yang shalat dengan khusyuk  bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, menutup telinga dan menutup diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyuk itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu. 
Kita dapat menemukan sekian banyak   ayat dan hadits yang mengacu maknanya kepada kewajiban khusyu, serta mencela mereka yang lalai dalam shalatnya. Bahkan, dalam Al-Qur'an tidak ditemukan satu perintah melaksanakan shalat atau pujian kepada yang melaksanakannya, kecuali dibarengi dengan kata aqimu atau yang seakar dengannya. Ketika Al-Qur'an memuji sekelompok orang yang shalat dengan benar dan baik, mereka ditunjuk dengan kalimat wa al-muqimi ash-shalat  (QS. Al-Hajj 22: 35), sedangkan ketika berbicara tentang sekelompok orang yang shalat tanpa menghayati substansinya, maka kata yang digunakannya adalah al-mushallin (QS. Al-Ma'un 117: 04) tanpa menyebut kata yang seakar dengan aqimu. Memang kata tersebut mengandung makna melaksanakan sesuatu secara berkesinambungan dan dengan sempurna sesuai dengan syarat, rukun, dan sunah-sunahnya.   Kata al-mushallin  pada ayat tersebut menunjuk kepada mereka yang kalaupun telah melaksanakan shalat, tetapi shalatnya tidak sempurna, karena mereka tidak khusyuk, dan tidak pula memperhatikan berbagai syarat dan rukunnya, atau tidak menghayati arti serta tujuan hakiki dari ibadah tersebut. Mereka itulah yang lengah akan hakikat dan tujuan shalatnya, sehingga dinilai oleh surah itu sebagai orang yang mendustakan agama.

Hakikat pembenaran ad-din (agama) bukanlah ucapan dengan lidah, melainkan perubahan dalam jiwa menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi yang pada gilirannya mendorong ke kebaikan dan kebajikan. Allah tidak menghendaki dari manusia sekedar kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi lebih dari itu adalah pengamalan, yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu. Sebab, kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti apa-apa dan tidak dipandang-Nya, Nabi Muhammad SAW bersabda "Allah tidak memandang (menilai) fisik dan bentuk rupamu, tetapi Dia menilai hati dan amalanmu",

Ulama fiqih pada dasarnya hanya mengarahkan pandangan ke sisi lahiriah manusia. Nahnu nahkumu bi azh-zhahir wa Allah yatawalla as-sarair (Kami hanya menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menangani yang batin). Khusyuk adalah kondisi kejiwaan yang tidak dapat terjangkau hakikat sebenarnya oleh pandangan manusia, termasuk para ahli fiqih itu.
Salam Semangat (Rizqy)


[1] http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=43&id=3.
[2]  http://aanmuslim.blogspot.com/2008/11/5-ciri-sholat-yang -khusyuk.html

.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design