Minggu, 18 Mei 2014

Surat Kepercayaan Gelanggang

 
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini yang paling menonjol adalah Asrul Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950.
Surat Kepercayaan Gelanggang
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
 Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman
Jakarta, 18 Februari 1950

Rabu, 07 Mei 2014

Zakat Menurut Para Sufi

ZAKAT 
PENGERTIAN
Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam. Zakat dari segi prakteknya adalah kegiatan bagi-bagi yang diwajibkan bagi umat islam. Zakat berbeda dengan gratifikasi. Gratifikasi adalah kegiatan bagi-bagi yang tidak diperkenankan oleh negara atau ketentuan pemerintah.
B.     SEJARAH
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah S.W.T. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad SAW melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.

C.     MACAM-MACAM ZAKAT
Zakat terbagi atas dua macam, yaitu:
1.      Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan suci Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
2.      Zakat Maal (harta)
Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

D.    DALIL ZAKAT
Dalil dari Perintah berzakat sangatlah banyak, hingga dalil zakat termaktub dalam Al Quran, dan kewajibannya sering digandeng dengan shalat sebanyak di 82 ayat. (Fiqhus Sunnah, 1/327). Salah satunya adalah:
1.      Al-Baqarah ayat 110
Artinya: “dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat
2.      Al-Maidah ayat 12
 
Artinya: “dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka  orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”
3.      Dan masih banyak  lagi dalil dari perintah zakat tersebut
E.     HUKUM ZAKAT
Sebagai mana dalam sebuah kaidah ushul fiqih,
الاصل في الامر للوجوب
“Asal dari sebuah perintah adalah menunjukan kewajiban”
Dengan dalil-dalil al-Qur’an di atas maka bias dikatakan bahwa hukum dari zakat itu adalah wajib, kecuali bagi orang yang tidak mampu.

F.      ZAKAT MENURUT PANDANGAN SUFI
Menurut pandangan Syekh Lemah Abang atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh Siti jenar
Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup, menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu mereka yang kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (QS Al-Anam/6: 160)
Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan sebagai arena pembersihan harta dan jiwa. Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat rohani menjadi tercapai. Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak. (QS Al Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik jasmani maupun rohani.
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya. Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah. (Sabda Nabi). 
Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada adalah milik Tuhan. Manusia diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan rohaninya menuju Tuhan. Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Ali Imran/3:92). Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan kado atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.



Selasa, 06 Mei 2014

Ritual Shalat Lahir dan Batin

SHALAT LAIHR DAN BATIN
Pengertian Shalat Lahir dan Batin
Shalat merupakan tiang agama, demikian Islam menempatkannya sebagai keyakinan. Sebagai rukun islam yang kedua, ia wajib hukumnya untuk dilaksanakan, tidak boleh tidak, dengan segala ketentuan yang mengaturnya, juga sebagai instrumen komunikasi dan pendekatan diri kita dengan Sang Khaliq, demikian ditegaskan dalam doktrin Islam.

Shalat ternyata memestikan hal yg bersifat lahiriah dan batiniah. Dalam artikelnya M. Quraish Shihab mengunggkapkan bahwasanya secara lahiriah orang yang shalat dituntut untuk memenuhi segala syarat dan rukunnya, sedangkan secara bathiniah meniscayakan adanya kekhusyu'an, yaitu kehadiran Allah yang maha besar dalam setiap gerakan Shalat dimulai dari takbir hingga salam.
Jadi bahwasanya yang dikatakan shalat lahir batin adalah yang mana pada shalat tersebut didapatkan kekhusyuan.
            Dalam wacana keislaman, Shalat terlihat masih menjadi pertentangan antara para ahli fiqih dan tasawuf. Ahli fiqih tidak menetapkan khusyu' sebagai salah satu syarat sah shalat, sedang ahli tasawuf menuntut hadirnya kekhusyu'an dalam ibadah ini.

Seandainya shalat hanya sekadar "ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam" – sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqih – niscaya Allah tidak menyatakan bahwa Sesungguhnya Dia berat, kecuali oleh mereka yang khusyuk (QS. Al-Baqarah : 45).

Kalau kita ingin mengalami shalat yang benar-benar bisa mencegah perbuatan keji dan munkar atau dalam bahasa haditsnya, yang dapat menjadi "sarana mi'raj" kita selaku orang beriman, maka mau tidak mau kita harus mengikuti jejak sufi dengan tetap bertolak dari pijakan para fuqaha. Sebenarnya persoalan khusyu' dalam perspektif ganda ini (fiqih dan tasawuf) bisa juga kita jadikan contoh kasus bagaimana keduanya, jika tidak dipahami secara utuh, akan tampak bertentangan atau setidaknya berpisahan. Yang satu hanyut dalam urusan-urusan lahiriah, sementara yang lain hanya mengurus hal-hal bathiniah. Tetapi, jika keduanya dipahami dalam sebuah kerangka yang utuh, maka kita pada akhirnya akan mengakui bahwa keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Keduanya saling terkait, bukankah bertasawuf tanpa menghiraukan ketentuan syari'at (fiqih) tidak dibenarkan, dan sebaliknya mengamalkan syari'at tanpa hakikat juga menggersangkan ajaran Ilahi – untuk tidak mengatakan mereduksinya. Karena itu, tasawuf merupakan kelanjutan atau konsekuensi logis dari yang pertama (fiqih).

Di sinilah terjadi pertemuan. Pada akhirnya memang para fuqaha yang mendalam pengetahuannya dan para sufi yang meneladani Nabi Muhammad SAW. berkesimpulan bahwa mengamalkan tasawuf tanpa bimbingan syari'at tidaklah dapat dibenarkan. Sebaliknya, mengamalkan syari'at tanpa hakikat yang diajarkan para sufi, hanyalah dilakukan oleh yang tidak memahami substansi agama. Dalam konteks shalat, maka yang diharapkan adalah "Shalat Lahir Batin", yaitu shalat yang dilaksanakan secara sufistik dengan berlandaskan pada ketentuan-ketentuan syari'at. Dengan kata lain, shalat yang memenuhi berbagai syarat, rukun, dan sunahnya, serta disempurnakan dengan sikap khusyu'.[1]

1.      Ciri-ciri Shalat Yang Khusuk
Para ulama menjelaskan bahwa yang namanya khusyuk itu ada beberapa ciri :
1. Tidak menghadirkan segala sesuatu yang diluar aktifitas shalat. 
2. Teratur dan tenang dalam gerakan anggota badan di dalam shalat.
3. Merasakan bahwa dirinya sedang berada dalam perhatian Allah SWT yang maha mengetahui apa yang nampak dan yang tertutup. Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS.Al-Mujadalah:07).   
4. Mentadabburkan atau menghayati bacaan Shalat yang diucapkannya dengan memahami maknanya secara umum.  Bagaimana mungkin seorang bisa dikatakan khusyuk kalau dia tidak paham apa yang dibacanya.
5. Mengosongkan hati. Sebab bersihnya hati dan pikiran dari hal-hal di luar shalat merupakan inti dari kekhusyuan itu sendiri. Meski pun bukan berarti terlepas total dan tidak sadarkan diri dari apa yang terjadi di sekelilingnya.[2] dan ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyuk  kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan. Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutup atau telinganya disumbat sehingga tidak melihat atau mendengar apapun,agarkonsentrasi. Bahkan mungkin  bila dia melakukan hal-hal di atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan lalu lalang di jalan raya. 

           Maka seorang yang shalat dengan khusyuk  bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, menutup telinga dan menutup diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyuk itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu. 
Kita dapat menemukan sekian banyak   ayat dan hadits yang mengacu maknanya kepada kewajiban khusyu, serta mencela mereka yang lalai dalam shalatnya. Bahkan, dalam Al-Qur'an tidak ditemukan satu perintah melaksanakan shalat atau pujian kepada yang melaksanakannya, kecuali dibarengi dengan kata aqimu atau yang seakar dengannya. Ketika Al-Qur'an memuji sekelompok orang yang shalat dengan benar dan baik, mereka ditunjuk dengan kalimat wa al-muqimi ash-shalat  (QS. Al-Hajj 22: 35), sedangkan ketika berbicara tentang sekelompok orang yang shalat tanpa menghayati substansinya, maka kata yang digunakannya adalah al-mushallin (QS. Al-Ma'un 117: 04) tanpa menyebut kata yang seakar dengan aqimu. Memang kata tersebut mengandung makna melaksanakan sesuatu secara berkesinambungan dan dengan sempurna sesuai dengan syarat, rukun, dan sunah-sunahnya.   Kata al-mushallin  pada ayat tersebut menunjuk kepada mereka yang kalaupun telah melaksanakan shalat, tetapi shalatnya tidak sempurna, karena mereka tidak khusyuk, dan tidak pula memperhatikan berbagai syarat dan rukunnya, atau tidak menghayati arti serta tujuan hakiki dari ibadah tersebut. Mereka itulah yang lengah akan hakikat dan tujuan shalatnya, sehingga dinilai oleh surah itu sebagai orang yang mendustakan agama.

Hakikat pembenaran ad-din (agama) bukanlah ucapan dengan lidah, melainkan perubahan dalam jiwa menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi yang pada gilirannya mendorong ke kebaikan dan kebajikan. Allah tidak menghendaki dari manusia sekedar kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi lebih dari itu adalah pengamalan, yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu. Sebab, kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti apa-apa dan tidak dipandang-Nya, Nabi Muhammad SAW bersabda "Allah tidak memandang (menilai) fisik dan bentuk rupamu, tetapi Dia menilai hati dan amalanmu",

Ulama fiqih pada dasarnya hanya mengarahkan pandangan ke sisi lahiriah manusia. Nahnu nahkumu bi azh-zhahir wa Allah yatawalla as-sarair (Kami hanya menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menangani yang batin). Khusyuk adalah kondisi kejiwaan yang tidak dapat terjangkau hakikat sebenarnya oleh pandangan manusia, termasuk para ahli fiqih itu.
Salam Semangat (Rizqy)


[1] http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=43&id=3.
[2]  http://aanmuslim.blogspot.com/2008/11/5-ciri-sholat-yang -khusyuk.html

.


 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design